Senin, 13 Februari 2017

“Posisi Negara Kolaps,Rakyat Miskin Pemerintah Segera Menasionalisasi Ekonomi”


Oleh: Yohanes Akwan

Foto Papua Sunews.
Sistem perekonomian nasional kita terkesan kolaps,akibatnya uang rakyat dikorupsi oleh para birokasi mulai dari pusat hingga daerah,sehingga terjadi defisit APBN setiap tahunnya.sebagai contoh: Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akhirnya menyepakati, defisit anggaran tahun ini sebesar Rp 330,2 triliun atau setara dengan 2,41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nilainya lebih besar dibandingkan defisit anggaran tahun 2016 yang diprediksi mencapai Rp 313,7 triliun atau 2,5 persen dari PDB.

Dampak deficit ini sebenarnya negara harus berkaca bahwa,rakyat sudah tentu akan dibebani  menangung  utang  negara dari defisit yang telah disetujui oleh eksekutif dan legislatif  bisa dikata naiknya sangat fantastis,sedangkan perdagangan surat berharga yang di sebut sebagai tex amnesty belum tentu sepenuhnya membiaya jumlah defisit negara. contohnya; Bila melihat gelagat kebijakan perekonomian pemerintahan dewasa ini, terjadi peningkatan anggaran belanja (austerity) tersebut, pastilah merupakan suatu pemenuhan prasyarat atas akan datangnya utang luar negeri dari kelompok Bank Dunia.

Tujuan mewujutkan kebijakan defisit  pemerintahan  jokowi  memilih SMI yang merupakan pejabat Bank Dunia, melalui  JK dan Sofyan Wanandi pergi ke Amerika Serikat (AS) melobby ekonom kanan ini agar mau kembali menjabat Menkeu di Pemerintahan Jokowi. Langka strategi JK dan Sofyan Wanandi berhasil melobby SMI untuk menjabat.Upaya tersebut dilakukan agar yang  bersangkutan diharapkan menahan dari defisit yang terlalu besar sehingga harus diadakan utang luar negeri, maka SMI  dan grup Bank Dunia adalah entitas yang paling tepat. 

Dari upaya menahan defisit faktanya negara gagal memberikan dampak manfaat bagi rakyat Indonesia, faktanya anggaran defisit (Defisit Buged)/kebijakan fiscal ekspansif pemerintah untuk membuat pengeluaran negara lebih besar  tidak memberikan manfaat kepada stimulus perekonomian negara malah sebaliknya,kebijakan tersebut sangat membebani APBN negara,dimana anggaran surplus buged dari kebijakan negara untuk menaikan pendapatan negara tidak tercapai  dan pemerintah sendiri terkesan ( overheakting) untuk menurungkan tekanan permintaan.

Dilain pihak secara politik, dapat disimpulkan pemerintah tidak mampu mengelola perekonomian negara dengan menetapkan kebijakan anggaran yang berimbang artinya, pengeluaran dan pemasukan harus sama besar, tujuannya untuk menciptakan kepastian anggaran dan disiplin dalam pengelolaan. Fakta ketidak mampuannya dapat dilihat dari pemasukan Negara tahun 2016 (Data kementrian keuangan) 30 September 2016, realisasi pendapatan negara mencapai Rp1081,2 triliun atau 60,5 persen dari target dalam APBN-P 2016 yang sebesar Rp1.786 triliun. Dari jumlah tersebut, realisasi Penerimaan Perpajakan tercatat sebesar Rp896,1 triliun, atau 58,2 persen dari target APBN-P 2016 yang sebesar Rp1.539,2 triliun, yang belum dikoreksi dengan adanya potensi shortfall Rp219 triliun.

“Capaian pajak penghasilan (PPh) non migas mengalami peningkatan dari Rp357,8 triliun menjadi Rp476,5 triliun. Itu suatu peningkatan yang cukup besar, terutama berasal dari tax amnesty,”. Sementara itu, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp183,8 triliun atau 75 persen dari target APBN-P 2016 yang sebesar Rp245 triliun dan tidak cukup untuk mengembalikan utang luar negeri.

Merujuk pada perekonomian negara saat ini maka, negara harusnya membuat Kebijakan fiskal  untuk mengarahkan ekonomi negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah agar rakyat tidak terbebani dengan adanya laju inflasi dan segera mengeluarkan kebijakan moneter, bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang  yang beredar. Kegagalan Negara menyebabkan terjadinya kegaduhan politik disegala dimensi dan rakyat kecil menjadi korban kegaduhan tersebut akibatnya,rakyat menanggung beban negara melalui BPJS,BBM naik,Harga bahan pokok melambung tinggi dan tingkat penganguran semakin tinggi.

Dengan demikian negara melalui aparatur pemerintahan  harus segera mengontrol kebijakan perekonomian negara sehingga rakyat tidak terbebani utang 31, 6 Triliun setiap 6 bulan dengan cara tidak harus berbelanja terlalu over dan mengurangi pembelanjaan sector aparatur saat ini yang dinilai sangat memboros anggaran negara seperti;

·   Pertama, negara sudah harus memikirkan cara untuk menarik pajak dari bisnis-bisnis oknum-oknum TNI di Papua, karena usaha mereka yang menghasilkan milyaran rupiah itu ada hak Negara dan Rakyat.
·        Kedua,Aparatur negara dibayar mahal tetapi kerja tidak produktif, misalkan banyak PNS yang masuk kantor jam  9 (Sembilan) pagi, kerja 2 (Dua) jam sisanya main gem sampai jam pulang.
·     Ketiga, TNI sudah harus tunduk di bahwa rakyat, Anggota TNI yang saat ini berada diluar harus segera ditarik kembali kemarkas komando. dan berlakukan sistem kontrak untuk merekruk pasukan apabilah negara dalam keadaan darurat.
·      Keempat seluruh uang yang beredar diluar perbangkan segera ditarik karena ada hak negara dan rakyat yang diselundupkan.
·      Kelima, Birokrasi harus profesional bebas dari korupsi,kolusi dan nepotisme sehingga tidak membuat rakyat di rugikan untuk harus menanggung beban nagara melalui pinjaman utang luar negeri.
·    ke enam,negara sudah harus berpikir menaikan upah buruh dan kesehjatraan petani diperhatikan sehingga tercipta iklim usaha yang sehat.(Anes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar