Minggu, 12 Februari 2017

Era Otsus Buka 232 IUP Sektor Minerba Kapling Jutaan Hektar Tanah Papua



 | 



Kepemilikan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Papua maupun Papua Barat (Tanah Papua bagian barat) makin tak beraturan alias sembrawut. Satu pemegang IUP leluasa mengantongi 3 hingga 5 IUP dengan jenis usaha yang berbeda namun induknya sama. Ijin dengan mudah diberikan tanpa kajian yang mendalam. Penerbitan IUP kencang dilakukan pada saat menjelang pilkada atau jelang hari raya.

Otsus dianggap solusi bagi kesejahteraan rakyat Papua. Kenyataannya tidak demikian. Praktik kotor industri yang mengusung slogan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan, hingga kini justru praktik penguasaan tanah, perambahan hutan dan kriminalisasi, menggusur masyarakat lokal dari hunian mereka dengan alasan investasi. Para investor pun memanfaatkan ketidaktahuan orang-orang lokal tentang hak-hak mereka. Seringkali perusahaan datang kasi uang kepada pemilik hak ulayat jelang hari raya natal, namun penduduk setempat tidak tahu kalau itu uang bayar tanah.

Hingga tahun 2017 (16 tahun otsus berlaku), sebagaimana pengumuman Nomor 226.PM/04/DJB/2017, oleh Kementerian ESDM di Jakarta. Evaluasi IUP CnC sudah berlangsung pada tahapan ke-22. Kategori Clean and Clear (CnC/Non CnC),  oleh Kementerian Sumberdaya Mineral Dan Batubara, sejak awal tahun 2012 silam (tahapan CNC III, khusus untuk Tanah Papua hingga sekarang total 232 IUP yang dievaluasi. Rata-rata IUP Non CnC mendominasi peringkat ini. Sementara IUP CnC yang masa berlakunya habis, tidak tahu apakah dilanjutkan atau tidak.


 
Sejak otsus bergulir tahun 2001 silam, sebagaimana evaluasi ijin-ijin oleh ESDM tahap ke-III (2012), ada 34 IUP Tambang CNC kuasai 477,973.80 HA tanah di Provinsi Papua Barat. 2,408.944.57 HA tanah diperuntukan bagi 79 IUP yang nyatanya Non CnC.  Provinsi Papua ada 87 IUP Tambang Non CnC kapling 2,394.411.63 HA tanah. 26 IUP tambang CNC kapling 764.153.39 HA tanah. Tahapan ke-3 evaluasi sebagaimana ditulis diatas, rata-rata ijin yang diorbitkan dari tahun 2009-2012.
Tanggungjawab korporasi pada penghormatan hak asasi manusia, sama sekali tidak berjalan. Masyarakat tidak diberikan informasi soal apa tujuan perusahaan ini datang. Tiba-tiba maen gusur, maen ukur sana sini. Ketika di protes oleh pemilik adat disekitar areal, malah dihadapkan dengan serdadu berseragam nan bersenjata. Selain diteror, pelaku industri kadang menyebunyikan ijin-ijin yang seharusnya diberitahukan kepada orang lokal sebagaimana merupakan kewajiban pelaku usaha untuk mengedepankan prinsip FPIC yang juga dianut pada UU kebebasan informasi di Indonesia. Dampaknya sebaran konflik SDA di Tanah Papua meningkat disekitar areal tambang maupun perkebunan. Baca: Konflik Papua
Sejak otsus diberikan, ruang hidup orang asli makin berkurang dan terhempit, tanah-tanah adat dikuasai para pemodal dengan berbagai dalih dan cara. Sektor mineral batubara digali dan diolah untuk kebutuhan eksport bagi energi negara luar, sektor pangan pun diolah demi memenuhi kerakusan pangan global. Bawa saja semua aset kekayaan orang Papua jual ke pasar di Asia dan Eropa serta negara lain, terus kami yang punya tanah disini bukan manusia kah?
Arkilaus Baho
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar