Rabu, 01 Maret 2017

Masyarakat Teluk Bintuni Dan Ancaman Investasi Asing


Belum Terlihat Komitmen
 Kuat pemerintah menyelesiakan,”Kasus-Kasus HAM di Tanah Papua sebagai mana Harapan Rakyat Papua akan keadilan”.
Sejalan dengan kuatnya tuntutan rakyat papua, Teluk Bintuni harus dijadikan 
cermin pemerintah untuk  menghormati dan mengakui hak Masyarakat Adat.


By,Yohanes Akwan.

Barat, 1 Maret 2017.Telum Bintuni yang dahulu sangat terpencil,yang diselimuti hutan hujan tropis dan mangrove,kini dalam proses berali wujud menjadi lansekap industrial.Separuh dari perubahan lansekap ini adalah akibat dari pembangunan industry migas dan menyusul industri perkebunan kelapa sawit skala besar.Hari ini,bahan bakar minyak tidak hanya dihasilkan oleh migas yang terletak dibahwa tanah,melainkan juga bersumber dari minyak nabati yang tumbuh dari pohon.

Kondisi diatas diperkuat dengan adanya kebijakan pemerintah pusat menetapkan 14 kawasan industry perwilayah indonesia, salah satu kawasan industri itu berada di daerah Teluk Bintuni. Di sana akan dibangun kawasan industri minyak dan gas (migas) dan pupuk. Pemerintah daerah sebagai mana termaktub dalam Mater Plan untuk“Strategi Pengembangan & Pemerataan Infrastruktur  Penunjang  Migas Kawasan Timur dalam Menunjang Ketahanan Energi Nasional”, yang merupakan lanjutan serupa dengan Program MP3EI maka, Teluk Bintuni masuk pada kawas Sona Ekonomi kusus wilayah 14 sebagai pusat indusitri di Indonesia.

Artinya Bukan hanya BP Tangguh,Genting Oil,Eni Oil,The Lion Group,HCW Papua Plantation saja yang bergerak untuk mengambil migas dan usaha Perkebunan Kelapa Sawit tetapi sudah pasti beberapa perusahan asing ( dengan Sekutu local) punya rencana untuk membangun pabrik petrokimia,termasuk  Ferrostaal (asal Jerman,Pabrik methanol),LG (Asal Korea Selatan,Pabrik methanol) dan PT Pupuk Indonesia (Pabrik Urea) dengan memanfaatkan luasan mencapai 2.344 hektar, disamping itu untuk bagian timur Kabupaten Teluk Bintuni terdapat banyaknya konsesi tambang batu bara yang kini berada dalam tahap eksplorasi.(Lihat Atlas Sawit Papua Dibawah Kendali Penguasa Modal).
                                     
Kehadiran Investasi dan Arus Masuk Penduduk

Rencana ekspansi secara besar-besaran oleh perususahan-perusahan pertambangan maupun perkebunan dalam skala besar’’membuat Teluk Bintuni bukan lagi merupakan daerah yang tertutup bagi orang luar untuk mengadu nasib di Teluk Bintuni.Kebijakan Pemerintah boleh di kata sangat baik untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,’’ namun perlu diingat bahwa,’’ keberadaan masyarakat adat akan semakin terancam akibat masuknya perusahan-perusahan raksasa,’’dimana hutan dan laut akan di klem untuk kepentingan investasi yang telah dikemukan diatas.

kehadiran investasi skala besar akan ikut mendorong masuknya orang luar kedaerah akan semakin banyak,’’dimana ketika tidak di proteksi secara baik dan benar maka,kecenderungan kuat akan muncul komflik social yang berdimesi pelanggaran HAM berat(Lihat Kasus Maryedi beradara tahun 2003 seakan hilang begitu saja ditelang bumi) dikemudian hari. Bukan hanya kekuatiran itu saja tetapi akan turut mendorong lajuh krusakan hutan yang berdampak pada hilangnya nilai-nilai kearifan local sebagai akibat dari dampak investasi di Teluk Bintuni. Menjadi pertanyaan, kebijakan pemerintah pusat menetapkan Teluk Bintuni Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dapat menjamin bahwa,”kasus-kasus pelanggaram HAM dimasa lalalu tidak terjadi lagi seperti contoh;

Catan Peristiwa Yang di Verifikasi




  1. Operasi seismic oleh ARCO (Atlantic Richfield Company)  di daerah menyebabkan kebakaran dusun sagu yang mengakibatkan 48 bayi meninggal tahun 1994 di Weriagar.
  2.  Pada tahun 1999, PT Varita Maju utama lagi-lagi menunjukkan cara picik. Perusahaan memberikan uang ganti rugi sebesar Rp. 100 juta atas tanah seluas 3.300 hektar atau per hektar tanah sekitar Rp 30.000. dan juga membebankan syarat bahwa warga setempat tidak boleh menuntut hingga generasi cucu mereka nanti.
  3. Pembayaran areal seluas 3.266 hektar dengan harga Rp 300,-/m2 (sebelumnya Rp.15,-),  oleh BP tangguh kepada masyarakat saengga tanah merah.2003.
  4. Kasus pelanggaran HAM maryedi berdarah tahun 2003 mengakibatkan 4 orang meninggal dunia dan dua orang di aniaya serta satu orangnya di penjara.
  5. Komflik diatara marga ateta dan agofa yang menyebabkan satu orang ditahan oleh polisi.(Study Saengga Report Tahun 2007 Oleh Jasoil Tanah Papua)
  6. Pembunuhan terhadao 2 orang anak,satu orang ibu yang sedang mengandung di teluk bintuni tahun 20015 oleh Oknun TNI dan pembunuhan misterius lainnya yang belum ditemukan pelakunya hingga saat ini.(Majala Bur Tahun 2005)

Belajar dari Kesalahan dan Berupaya Memperbaiki

Pemerintah pusat dan daerah sudah harus berpikir menerapkan prinsip-prinsi keadilan dalam rangka perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana prinsisp-prinsip memanusiakan manusia untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan itu maka yang penting dilakukan adalah mendudukan Masyarakat adat sebagai subyek  utama dalam setiap mekanisme tingkatan perundingan yang bermartabat duduk sejajar dan saling menghormati satu dengan lainya sebagaimana prinsip-prinsip saling menguntungkan.

Belajar dari sejumlah kasus-kasus yang sudah perna terjadi,maka penting harus dilihat adalah perubahan paradikma pelaku bisnis dalam memandang Manusia dan tanah  sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisakan secara parsial-parsial dalam peruntukannya.untuk itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memilikiki komitmen political Wil,yang kuat untuk  mengambil kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan pemilik  tanah adat dalam bentuk tata kelolah yang berkelanjuta dengan tidak mengabaikan penghormatan terhadap nilai-nilai ekonomi, Politik dan social budaya.

Teruma sebelum pemerintah menjalankan kebijakan tersebut prinsip yang harus di utamakan adalah penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusia yang diduga sengaja menghilangkan nyawa manusia dengan cara melawan hukum. Kasus-kasu pelanggaram HAM yang terjadi hingga saat ini belum juga diselesaikan, pemerintah tidak harus tinggal diam. Pemerimtah sebagai peneyelngara Negara tidak harus memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagaimana perbuatannya yang bertentangan dengan konsitusi Negara. Dilain pihak Masyarakat korban pelanggaran HAM mestinya harus mendapat perhatian program rehabilitasi dari Negara untuk memperbaiki kondisi mental korban agar terbebas dari troma masa laluh. (Anes)

Lampiran.Peta Sebarab Industri Di Teluk Bintuni Tanah Papua




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar